Berita Dunia Terkini – Di peta Afrika Utara, Sahara Barat tampak seperti hamparan gurun tanpa kota besar, sungai, atau pusat industri. Namun kenyataannya wilayah ini dijaga layaknya pusat perang:
-
130 ribu tentara
-
Drone patroli 24 jam
-
9 juta ranjau, terbanyak di dunia
-
Tembok pasir 2.700 km, 17 kali lebih panjang dari Tembok Berlin
Pertanyaan pun muncul: apa yang sebenarnya di sembunyikan di balik garis lurus di tengah gurun ini?
Status Politik yang Tak Pernah Selesai: Tanah Milik Siapa?
Sahara Barat bukan gurun biasa. PBB mencatat wilayah ini sebagai non-self-governing territory, artinya tanah ini belum pernah menentukan nasibnya sendiri.
Bangsa yang seharusnya menjadi tuan rumah adalah Sahrawi, suku nomadik dengan bahasa, budaya, dan sejarah yang berbeda dari Maroko maupun Aljazair.
Sejak 1970-an, PBB menjanjikan referendum penentuan nasib sendiri — janji sederhana yang tak pernah dipenuhi. Sementara itu, konflik perebutan wilayah semakin menguat.
Akar Konflik: Saat Wilayah Merdeka Dirampas di Detik Terakhir
Pada awal 1970-an ketika Spanyol hendak mundur, referendum sudah di siapkan untuk Sahrawi. Namun laporan geologi menemukan sesuatu yang mengubah segalanya:
-
Deposit fosfat raksasa, salah satu terbesar di dunia
-
Perairan kaya ikan
-
Potensi energi surya dan angin
Di sinilah Maroko melihat peluang dan memasuki wilayah tersebut, di ikuti Mauritania. Referendum hilang, di gantikan kesepakatan diam-diam yang membagi wilayah itu tanpa suara rakyat aslinya.
Lahirnya Perlawanan dan Awal Pengungsian Besar
Pendudukan terjadi mendadak. Desa dibom, tenda digulung paksa, dan ribuan keluarga Sahrawi melarikan diri ke arah timur menuju Aljazair.
Di tengah kekacauan, lahirlah Front Polisario, gerakan perlawanan yang memaksa Maroko dan Mauritania berperang di gurun terbuka.
Pada tahun 1979, Mauritania menyerah dan mengakui hak Sahrawi. Namun Maroko justru memperkuat kendali dan memulai proyek militer paling ambisius di Afrika.
Tembok Pasir 2.700 km: Garis Pemisah Keluarga dan Bangsa
Maroko membangun berm—tembok pasir raksasa sepanjang 2.700 km, dipenuhi ranjau dan pos penjagaan.
Tembok ini memisahkan:
-
Keluarga
-
Wilayah pendudukan
-
Kamp pengungsian
Bagi Sahrawi, tembok ini bukan hanya batas fisik, tetapi simbol bahwa tanah mereka berubah menjadi benteng geopolitik dan ekonomi.
Mengapa Maroko Bertahan? Jawabannya: Sumber Daya Raksasa
Konflik Sahara Barat bukan hanya soal sejarah, tetapi soal siapa yang menikmati kekayaan gurun ini.
1. Fosfat Bukra: Salah Satu yang Terbesar di Dunia
Fosfat adalah fondasi pertanian modern. Tambang Bukra menghasilkan nilai ratusan juta dolar per tahun. Sayangnya, rakyat Sahrawi hampir tidak menikmati keuntungan ini.
2. Perikanan Paling Kaya di Afrika Utara
Pada 2020, 73% perikanan Maroko berasal dari perairan Sahara Barat. Kapal Eropa pun beroperasi lewat perjanjian yang sering di protes karena menganggap wilayah itu milik Maroko.
3. Ladang Angin dan Surya untuk Menyuplai Energi ke Utara
Panel surya dan turbin angin di bangun di Sahara Barat, tetapi banyak desa Sahrawi justru mengalami listrik padam berulang.
Semakin besar nilai ekonominya, semakin kuat pula pengamanan militernya.
Janji Referendum yang Tak Pernah Datang
Meski PBB berulang kali membahas referendum, kepentingan geopolitik menghalanginya.
Negara-negara besar membutuhkan:
-
Fosfat
-
Jalur energi
-
Stabilitas politik Maroko
Bahkan misi PBB di Sahara Barat, MINURSO, tidak memiliki mandat memantau HAM, satu-satunya misi perdamaian di dunia dengan kondisi seperti itu. Pelanggaran pun sering tidak terdokumentasi.
Bangsa yang Menunggu Tanah Air yang Tak Pernah Mereka Lihat
Di kamp pengungsian Aljazair, generasi baru Sahrawi tumbuh tanpa pernah menginjak tanah leluhur mereka.
Pertanyaan mereka sederhana:
“Mengapa nasib kami ditunda begitu lama?”
Konflik ini bukan lagi tentang sejarah, tetapi tentang:
-
Kepentingan ekonomi global
-
Diplomasi yang timpang
-
Hilangnya keberanian negara besar untuk menegakkan hukum internasional
Sahara Barat: Gurun yang Membekukan Waktu
Sahara Barat menjadi ironi besar:
Sebuah bangsa yang paling lemah justru menjadi bukti rapuhnya janji komunitas internasional.
Di balik gurun yang bergeser setiap musim, harapan sebuah bangsa terus di tahan oleh tembok panjang dan politik dunia.
Pertanyaan akhirnya bukan lagi: siapa yang benar?
Tetapi:
Berapa lama lagi sebuah bangsa harus menunggu sebelum dunia mengakui bahwa mereka memang ada?
Sumber : Youtube.com

