NATO, yang didirikan pada tahun 1949 sebagai aliansi militer untuk pertahanan kolektif terhadap potensi ancaman Uni Soviet, telah menjadi pilar stabilitas dan keamanan di Eropa serta Amerika Utara selama lebih dari tujuh dekade. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul prediksi yang mengkhawatirkan mengenai kehancuran NATO. Salah satunya datang dari Philip Pison O’Brien, seorang profesor di University of St. Andrews, Skotlandia, yang pada September 2023 meramalkan bahwa NATO mungkin akan bubar pada tahun 2025. Prediksi ini memunculkan berbagai spekulasi terkait masa depan aliansi yang selama ini menjadi benteng pertahanan global.
Faktor Pemicu Perpecahan: Rusia, Ukraina, dan Ketegangan Internal
Perang Rusia-Ukraina, yang dimulai pada tahun 2022, telah menjadi ujian berat bagi keutuhan NATO. Meskipun aliansi ini menunjukkan solidaritas dalam menghadapi serangan Rusia, ketegangan internal tetap muncul, terutama terkait dengan bagaimana merespons situasi di Ukraina. Beberapa negara anggota, seperti Turki, menunjukkan sikap yang berbeda dalam kebijakan luar negeri, menambah kompleksitas dinamika internal NATO. Selain itu, ancaman dari Rusia turut memicu diskusi mengenai relevansi NATO di dunia internasional.
Pada Mei 2022, Dmitri Rogozin, Kepala Badan Antariksa Rusia, mengeluarkan pernyataan yang memperburuk ketegangan dengan menyatakan bahwa Rusia dapat menghancurkan negara-negara anggota NATO dalam waktu 30 menit jika terjadi perang nuklir. Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun NATO tetap solid dalam beberapa hal, ancaman luar dan perpecahan internal terus menghantui eksistensi organisasi ini.
Kehancuran NATO: Apa Artinya?
Prediksi mengenai kehancuran NATO bukan berarti negara-negara anggotanya akan sepakat untuk membubarkan organisasi ini atau membentuk aliansi baru. Sebaliknya, kehancuran lebih merujuk pada kehilangan pengaruh dan relevansi NATO di dunia internasional. Negara-negara anggota dapat mulai melihat NATO sebagai organisasi yang tidak lagi efektif dalam menghadapi ancaman global. Hal ini bisa terjadi jika NATO gagal mengatasi ketegangan internal dan eksternal yang semakin memuncak.
Kehancuran ini bisa disebabkan oleh perselisihan yang tidak terselesaikan atau perbedaan tajam mengenai strategi dan tujuan bersama. Secara garis besar, ada dua faktor utama yang mendorong kemungkinan kehancuran NATO: faktor eksternal dan internal.
Faktor Eksternal: Kekuatan Baru yang Muncul
Salah satu faktor eksternal yang memperburuk kondisi NATO adalah kemunculan kekuatan baru di dunia, seperti Cina dan Rusia. Negara-negara ini terus meningkatkan kekuatan ekonomi dan militer mereka, yang berpotensi menantang dominasi Barat dan mengurangi pengaruh NATO. Meskipun anggaran militer NATO tetap lebih besar dibandingkan dengan Cina dan Rusia, pertumbuhan pesat dalam anggaran militer kedua negara tersebut menjadi ancaman yang signifikan. Pada tahun 2023, Cina mengalokasikan sekitar 293 miliar dolar AS untuk anggaran militernya, sementara Rusia menghabiskan sekitar 82,6 miliar dolar AS.
Selain itu, Cina terus mengembangkan teknologi militer canggih seperti rudal hipersonik dan drone tempur otonom, sementara Rusia tetap mempertahankan keunggulan dalam senjata nuklir dan sistem pertahanan udara canggih. Semua perkembangan ini meningkatkan ketegangan dan menambah tantangan bagi NATO dalam mempertahankan dominasi dan pengaruhnya di dunia.
Ancaman Global yang Berubah
Selain munculnya kekuatan baru, perubahan lanskap ancaman global juga berperan dalam melemahkan relevansi NATO. Ancaman terorisme, perubahan iklim, dan perang siber semakin mendominasi, sementara NATO awalnya di bentuk untuk menghadapi ancaman konvensional. Pergeseran ini membuat NATO semakin kurang relevan dalam menghadapi tantangan dunia modern. Selain itu, banyak negara kini lebih cenderung membentuk aliansi berdasarkan kepentingan ekonomi dan regional, yang mengurangi ketergantungan mereka terhadap NATO.
Faktor Internal: Ketidaksetaraan dan Nasionalisme
Di dalam NATO, salah satu masalah utama yang mengancam persatuan aliansi adalah ketidaksetaraan kontribusi antara negara-negara anggotanya. Meskipun NATO memiliki prinsip burden-sharing (pembagian beban), dalam kenyataannya hanya sedikit negara yang memenuhi target pengeluaran 2% dari PDB untuk pertahanan. Amerika Serikat menjadi penyumbang terbesar, dengan sekitar 70% dari total anggaran pertahanan NATO pada tahun 2022. Sementara itu, negara-negara seperti Jerman sering di kritik karena tidak memenuhi target tersebut, meskipun mereka memiliki ekonomi terbesar di Eropa.
Ketidaksetaraan kontribusi ini menciptakan ketegangan di dalam aliansi dan mengancam solidaritas antar negara anggota. Beberapa negara yang merasa di rugikan mungkin mulai mempertanyakan manfaat mereka bergabung dengan NATO, terutama jika mereka merasa beban pertahanan lebih banyak di tanggung oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
Selain itu, meningkatnya nasionalisme dan populisme di beberapa negara anggota, seperti Hungaria dan Polandia, juga menjadi tantangan besar bagi NATO. Kebijakan nasionalis yang mengutamakan kepentingan nasional di atas kerja sama internasional semakin mengikis solidaritas NATO. Sentimen anti-NATO pun mulai tumbuh di beberapa negara, seperti Prancis, di mana sejumlah warga merasa bahwa NATO sudah usang.
Masa Depan NATO: Menghadapi Tantangan Global
Keberlanjutan NATO sebagai organisasi internasional yang relevan di masa depan sangat bergantung pada kemampuannya untuk mengatasi tantangan internal dan eksternal. Jika aliansi ini gagal memperbaiki ketidaksetaraan kontribusi antar negara anggotanya dan tidak dapat beradaptasi dengan perubahan ancaman global, maka prediksi mengenai kehancuran NATO bisa menjadi kenyataan.
Namun, NATO juga memiliki potensi untuk bertransformasi dan menghadapi tantangan ini dengan memperkuat solidaritas antar anggota serta memperluas cakupan aliansi untuk menghadapi ancaman-ancaman baru. Hanya waktu yang akan menentukan apakah NATO dapat tetap bertahan sebagai pilar utama stabilitas global atau akan kehilangan relevansinya di dunia yang semakin kompleks ini.