Berita Dunia Terkini – Pada akhir dekade 1950-an, Republik Rakyat Tiongkok di paksa menyaksikan salah satu tragedi paling mengerikan dalam sejarahnya. Kampanye besar-besaran yang di kenal sebagai Perang Burung, bagian dari Kampanye Empat Hama, menjadi simbol awal dari bencana besar yang di sebut sebagai Kelaparan Besar di Cina (Great Chinese Famine).
Digagas oleh Mao Zedong dalam kerangka program Lompatan Jauh ke Depan (Great Leap Forward), kebijakan ini bertujuan mempercepat industrialisasi dan swasembada pangan. Namun, dengan menjadikan burung gereja sebagai musuh negara bersama nyamuk, lalat, dan tikus, Mao memicu kerusakan ekologi massal, gagal panen, kanibalisme, dan kematian lebih dari 45 juta jiwa. Kelaparan yang melanda dari tahun 1959 hingga 1961 bukan sekadar bencana alam, melainkan akibat dari keputusan politik yang keliru dan penuh propaganda.
Ketika Burung Dijadikan Musuh Bangsa
Burung gereja, hewan kecil yang selama ini hidup berdampingan dengan manusia, tiba-tiba di cap sebagai hama. Mao beranggapan bahwa burung-burung ini memakan biji-bijian hasil panen, sehingga harus dimusnahkan agar produksi pangan meningkat. Dalam kerangka ideologi sosialis radikal, semua rakyat, termasuk anak-anak, di gerakkan untuk membasmi burung dengan alat-alat rumah tangga—dari panci hingga kaleng kosong.
Mobilisasi Massal dan Propaganda Negara
Seluruh pelosok negeri berubah menjadi medan perang melawan burung. Poster-poster propaganda terpampang di jalan-jalan dengan slogan seperti “Berantas hama-hama demi kebahagiaan generasi mendatang”. Anak-anak diajari membenci burung gereja melalui lagu dan puisi di sekolah. Kontes membunuh hama di gelar, dan mereka yang berhasil mengumpulkan bangkai terbanyak dianggap pahlawan revolusi.
Satu Burung Mati, Satu Ekosistem Runtuh
Namun, kebijakan ini mengabaikan satu hal penting: peran ekologis burung gereja. Selain memakan biji, burung ini juga memakan serangga seperti belalang dan ulat yang sebenarnya merupakan hama tanaman sesungguhnya. Ketika burung-burung ini punah secara massal, populasi hama serangga meledak tanpa pengendalian alami. Ladang-ladang yang semula di harapkan menghasilkan panen melimpah justru di rusak oleh wabah belalang.
Pukulan Berlapis: Gagal Panen, Cuaca Buruk, dan Kebohongan Statistik
Bencana ini di perparah oleh cuaca ekstrem—kekeringan di satu wilayah, banjir di wilayah lain. Namun pemerintah tetap menaikkan target produksi pangan berdasarkan laporan fiktif pejabat lokal yang takut melaporkan kegagalan. Akibatnya, meskipun rakyat kelaparan, hasil panen tetap di setor ke kota bahkan di ekspor keluar negeri.
Kelaparan yang Berujung Kanibalisme
Di desa-desa, kelaparan berubah menjadi kegilaan. Warga memakan rumput liar, kulit pohon, hingga tanah liat. Saat semua sumber makanan habis, manusia mulai memakan sesamanya. Kanibalisme merajalela, dari orang tua yang memakan anaknya hingga anak-anak yang memakan jenazah orang tuanya. Pemerintah menutup mata, menyebutnya sebagai “tiga tahun masa sulit”, dan menghukum siapa pun yang mengungkap kebenaran.
Akhir dari Perang Burung
Pada tahun 1960, setelah mendengar masukan ilmiah dan melihat hasil panen yang anjlok, Mao akhirnya mencabut burung gereja dari daftar hama. Namun terlambat—kerusakan ekologis telah terjadi. Sebagai upaya pemulihan, pemerintah harus mengimpor 250.000 burung gereja dari Uni Soviet untuk mengembalikan keseimbangan alam yang telah di hancurkan sendiri.
Warisan Kelam dari Perang yang Salah Sasaran
Para sejarawan memperkirakan jumlah korban tewas akibat kelaparan besar ini mencapai 45 hingga 70 juta jiwa. Ini menjadikan tragedi ini sebagai salah satu bencana kemanusiaan terburuk dalam sejarah umat manusia, bahkan melebihi korban Perang Dunia II. Lebih dari sekadar kekeliruan, Perang Burung adalah bukti nyata bagaimana politik otoriter yang menolak sains dan mengandalkan propaganda bisa membawa kehancuran total bagi rakyatnya sendiri.
Kesimpulan: Pelajaran dari Sebuah Kekeliruan
Perang Burung bukan hanya kisah tentang kebijakan gagal atau burung yang di basmi, melainkan tentang kekuatan ideologi yang membutakan nalar, tentang alam yang di balas dendam dalam diam, dan tentang rakyat yang menjadi korban dari ambisi yang tak terkendali. Tragedi ini menjadi peringatan abadi bahwa memerangi alam tanpa ilmu dan empati hanyalah jalan cepat menuju kehancuran.
Sumber : Youtube.com