Berita Dunia Terkini – Negara Haiti, negara yang pernah dipuji karena revolusi kebebasan para budaknya, kini terjebak dalam krisis yang sangat tragis. Dengan blokade jalan yang melanda, pemerintahan yang kehilangan kendali, dan kekuasaan kelompok bersenjata yang menguasai sekitar 90% wilayah ibu kota, negara Haiti tampak sebagai neraka di muka bumi. Kehidupan masyarakat terancam, dan Haiti pun menjadi salah satu negara paling kelaparan di dunia.
Krisis Kelaparan yang Mengguncang
Situasi kelaparan di negara Haiti semakin memburuk. Pada tahun 2023, kasus kekurangan gizi pada anak-anak meningkat hingga 30% dibandingkan tahun sebelumnya. PBB memperkirakan sekitar 1,4 juta orang—sekitar 12% dari populasi—hidup di ambang kelaparan. Hingga Mei 2024, sebanyak 5,5 juta orang, termasuk 3 juta anak-anak, menderita kelaparan yang sangat akut. Di daerah-daerah yang dikuasai geng, blokade dan pengepungan mencegah bantuan masuk, mengakibatkan banyak orang kehilangan nyawa atau diculik saat berusaha mendapatkan bantuan.
Sejarah yang Menyakitkan
Krisis multidimensi yang di hadapi negara Haiti tidak terlepas dari sejarah panjang yang menyakitkan. Dikenal sebagai Permata Karibia pada masa kolonial Prancis, negara Haiti mendapatkan kemakmuran dari perkebunan gula dan kopi yang di kelola oleh budak-budak Afrika. Revolusi yang di mulai pada tahun 1791 berhasil meraih kemerdekaan pada 1 Januari 1804, menjadikan Haiti sebagai republik kulit hitam pertama di dunia. Namun, kemerdekaan ini harus di bayar dengan mahal: utang ganti rugi kepada Prancis yang mencapai 105 juta franc emas, setara dengan 21 miliar dolar saat ini.
Setelah merdeka, negara Haiti terjebak dalam siklus utang yang membelenggu perekonomiannya. Utang kepada Prancis yang di bayar selama beberapa dekade menguras anggaran negara. Sekitar 80% dari anggaran nasional di alokasikan untuk membayar kompensasi tersebut, menghambat investasi dalam pendidikan, infrastruktur, dan layanan publik. Meskipun utang asli telah di lunasi pada tahun 1947, beban utang baru terus berdatangan, membuat lebih dari 60% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
Ketergantungan pada Bantuan Internasional
Karena beban utang dan kurangnya investasi domestik, negara Haiti sangat bergantung pada bantuan internasional. Namun, ketergantungan ini sering kali memperburuk ketidakstabilan, karena bantuan tidak selalu diarahkan untuk membangun kapasitas negara. Intervensi Amerika Serikat pada tahun 1915 memperparah situasi, dengan pengelolaan ekonomi yang lebih menguntungkan bagi AS daripada bagi rakyat Haiti.
Bencana Alam yang Menghancurkan
Haiti juga mengalami serangkaian bencana alam yang semakin memperburuk situasi. Gempa bumi tahun 2010 menewaskan lebih dari 200.000 orang dan menghancurkan infrastruktur. Penyebaran penyakit kolera dan badai Matthew pada tahun 2016 hanya menambah beban krisis kemanusiaan. Pada tahun 2018, krisis bahan bakar menyebabkan protes dan kekerasan, yang terus berlanjut hingga kini.
Dominasi Geng dan Krisis Kemanusiaan
Ketidakstabilan politik dan kemiskinan membuka jalan bagi kemunculan geng-geng bersenjata yang kini menguasai sebagian besar wilayah Haiti. Mereka beroperasi dengan kebrutalan, menciptakan zona-zona kekuasaan sendiri dan mengakibatkan kekerasan yang meluas. Pada tahun 2022, lebih dari 2.400 orang tewas akibat kekerasan terkait geng, menjadikan kehidupan sehari-hari masyarakat Haiti terancam.
Haiti kini berada di ambang kehancuran total. Setiap harapan tampak padam di tengah kekerasan, kelaparan, dan penderitaan yang tiada henti. Dengan anak-anak yang kelaparan dan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan, negara Haiti menjadi potret dari sebuah tragedi yang panjang, di mana kehidupan hanya menjadi perjuangan untuk bertahan satu hari lagi.
Sumber : Youtube