Berita Dunia Terkini – Myanmar, sebuah negeri yang terletak di persimpangan Asia Tenggara, adalah kanvas alam yang menakjubkan. Dari pegunungan hijau yang menjulang hingga lembah subur dan sungai berkelok yang menjadi urat nadi kehidupan, pesona alamnya sungguh memikat. Namun, di balik keelokan itu, tersembunyi rahasia geologis yang kompleks—tanah ini berdiri di atas pertemuan lempeng tektonik raksasa yang setiap saat bisa mengguncang jutaan kehidupan.
Tragedi yang Mengguncang: 28 Maret 2025
Ketakutan lama itu menjadi kenyataan pada 28 Maret 2025. Gempa bumi berkekuatan 7,7 magnitudo mengguncang wilayah Sagaing, tak jauh dari kota bersejarah Mandalay. Dalam sekejap, kota itu berubah menjadi puing. Dengan lebih dari 3.500 korban jiwa dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal, bencana ini dinobatkan sebagai salah satu yang paling mematikan di Asia dalam dekade terakhir.
Namun, tragedi ini tidak hanya soal skala kehancuran. Di tengah reruntuhan, konflik yang selama ini membara pun seolah dilupakan sejenak.
Myanmar di Jalur Tektonik Berbahaya
Secara geografis, Myanmar memang berada di wilayah yang sangat rentan terhadap gempa. Negara ini bertumpu pada titik temu beberapa lempeng besar: India, Eurasia, Sunda, dan lempeng Burma yang lebih kecil. Tabrakan lempeng India dan Eurasia bahkan membentuk pegunungan Himalaya, tetapi juga menimbulkan ketegangan geologis yang merembet ke seluruh Asia Tenggara.
Di bagian barat negara ini, zona subduksi Sunda Megathrust dikenal sebagai pemicu gempa dan tsunami besar, seperti yang melanda Aceh pada 2004. Namun, gempa 2025 di Sagaing tidak disebabkan oleh zona ini, melainkan oleh patahan mendatar aktif yang membelah Myanmar dari utara ke selatan: Patahan Sagaing.
Patahan Sagaing: Ancaman yang Sudah Lama Dikenal
Patahan Sagaing membentang sepanjang 1.200 km dan merupakan salah satu sumber gempa paling aktif di kawasan ini. Pada 28 Maret 2025 pukul 12.50 waktu setempat, gempa besar mengguncang hanya 17 km dari pusat kota Mandalay. Guncangan tersebut menghancurkan infrastruktur, merobohkan bangunan tua, dan menimbulkan gelombang kepanikan.
Guncangan bahkan terasa hingga ke negara tetangga seperti Thailand, India, Tiongkok, dan Bangladesh. Setelah gempa utama, serangkaian gempa susulan terus mengguncang hingga awal April, dengan gempa terakhir tercatat sebesar 5,1 magnitudo.
Mandalay Tak Siap, Korban Melonjak
Mandalay, kota dengan lebih dari 1,3 juta jiwa, nyatanya belum siap menghadapi bencana sebesar ini. Banyak bangunan tua yang runtuh karena tidak di bangun untuk menahan gempa besar. Padatnya penduduk memperparah skala kehancuran. Sejarah pun mencatat, Patahan Sagaing telah memicu sedikitnya enam gempa besar dalam satu abad terakhir—termasuk yang terjadi pada tahun 1912.
Namun, apa yang membuat gempa kali ini begitu mematikan adalah perpaduan antara kekuatan gempa, kedekatannya dengan wilayah padat penduduk, dan kondisi sosial-politik Myanmar yang sudah rapuh sejak lama.
Konflik Terhenti, Fokus Beralih ke Kemanusiaan
Sejak kudeta militer pada Februari 2021, Myanmar di landa perang saudara antara junta militer dan berbagai kelompok pemberontak. Sagaing, salah satu wilayah yang terdampak gempa, sebelumnya merupakan medan pertempuran aktif. Namun, saat bumi bergetar, suara senjata pun terdiam.
Militer dan pemberontak bahu-membahu menggali puing untuk mencari korban selamat. Kendaraan militer yang biasa membawa senjata kini mengangkut bantuan darurat. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, fokus berpindah dari konflik ke penyelamatan.
Tanggapan Dunia: Ketika Bantuan Tak Lagi Ditolak
Langkah mengejutkan datang dari junta militer Myanmar. Pada 30 Maret 2025, mereka secara resmi meminta bantuan internasional sebuah tindakan langka dari rezim yang biasanya tertutup dari dunia luar.
Tanggapan global pun mengalir. Tiongkok menjanjikan bantuan senilai 13,8 juta dolar dan mengirim tim medis. India mengerahkan kapal angkatan laut dengan ratusan ton bantuan logistik. Thailand, Rusia, hingga Indonesia ikut serta, dengan Presiden Prabowo Subianto mengirimkan bantuan senilai 1 juta dolar. Organisasi internasional seperti PBB dan Palang Merah juga mulai terlibat, meski tantangan akses ke wilayah terpencil sangat besar.
Krisis Ganda: Gempa di Tengah Darurat Kemanusiaan
Sebelum gempa, hampir sepertiga penduduk Myanmar sekitar 20 juta orang sudah hidup dalam krisis akibat konflik dan kemiskinan. Kini, dengan infrastruktur yang runtuh, jalan dan jembatan yang ambruk, serta desa-desa yang terisolasi, bantuan semakin sulit di salurkan. Longsor dan gempa susulan memperparah keadaan.
Masyarakat kekurangan makanan, air bersih, dan tempat berlindung. Harapan tipis hanya datang dari solidaritas sesaat yang lahir akibat bencana ini.
Momen Refleksi: Ketika Bumi Mengajarkan Prioritas
Gempa ini bukan yang terakhir. Para ilmuwan telah lama memperingatkan bahwa Patahan Sagaing memiliki siklus aktivitas yang bisa memicu gempa besar setiap beberapa dekade. Tanpa perencanaan matang—bangunan tahan gempa, sistem peringatan dini, dan koordinasi bencana yang baik—Myanmar akan terus menjadi korban dari kekuatan alam yang tak terhindarkan.
Namun, lebih dari itu, tragedi ini mengajarkan bahwa keselamatan rakyat harus berada di atas ambisi politik. Perang boleh terhenti sesaat, tetapi jika pelajaran dari bencana ini tak di ambil, Myanmar akan terus terjebak dalam lingkaran penderitaan—baik oleh tangan manusia maupun amarah bumi.
Sumber : Youtube.com