Berita Dunia Terkini – Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat pada Agustus 1945 menandai perubahan besar dalam sejarah dunia. Ledakan bom atom yang mengguncang kedua kota tersebut bukan hanya mengakhiri Perang Dunia II, tetapi juga memicu awal dari ketegangan global yang berlangsung selama lebih dari empat dekade. Meski Amerika Serikat dan Uni Soviet adalah sekutu dalam melawan Nazi Jerman, peristiwa tersebut justru memicu ketidakpercayaan mendalam dan memulai perlombaan senjata nuklir yang kemudian dikenal sebagai Perang Dingin.
Ledakan Besar
Pada 6 Agustus 1945, bom uranium bernama Little Boy dijatuhkan di Hiroshima, Jepang, dengan kekuatan ledakan sekitar 15 kiloton TNT. Ledakan ini menimbulkan bola api dengan suhu mencapai 1 juta derajat Celsius di pusatnya, menghancurkan segalanya dalam radius 1,6 km. Diperkirakan antara 70.000 hingga 80.000 orang tewas seketika, sementara korban lainnya meninggal akibat luka bakar dan radiasi, total mencapai lebih dari 140.000 orang pada akhir tahun 1945.
Tidak lama setelahnya, pada 9 Agustus 1945, bom atom kedua yang lebih kuat, Fat Man, dijatuhkan di Nagasaki. Dengan kekuatan sekitar 21 kiloton TNT, ledakan ini menyebabkan kerusakan parah meskipun dampaknya sedikit lebih kecil karena faktor topografi. Namun, kehancurannya tetap menghancurkan lebih dari setengah kota Nagasaki.
Reaksi Uni Soviet: Dari Kewaspadaan ke Perlombaan Nuklir
Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki tidak hanya berakhir dengan kehancuran bagi Jepang, tetapi juga memengaruhi hubungan antara dua kekuatan besar dunia—Amerika Serikat dan Uni Soviet. Stalin dan pemerintah Soviet melihat penggunaan senjata nuklir ini sebagai ancaman serius terhadap keamanan mereka. Meskipun AS dan Uni Soviet sebelumnya bersatu untuk melawan Jerman, aksi Amerika Serikat ini memunculkan ketidakpercayaan yang mendalam dan mengubah dinamika geopolitik secara dramatis.
Sadar akan potensi ancaman ini, Soviet mulai mempercepat pengembangan senjata nuklir mereka. Pada 1949, hanya empat tahun setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, Uni Soviet berhasil menguji bom atom pertamanya, RDS-1, yang menandai dimulainya perlombaan nuklir antara kedua negara. Propaganda Soviet pun mengutuk penggunaan bom atom AS sebagai bukti kejamnya kapitalisme Amerika.
Bom Hidrogen: Ledakan dengan Daya Rusak Luar Biasa
Kekhawatiran AS terhadap keberhasilan uji coba nuklir Soviet mendorong mereka untuk mengembangkan senjata yang lebih kuat lagi: bom hidrogen. Pada tahun 1952, Amerika Serikat berhasil menguji bom hidrogen pertamanya, Mike di Kepulauan Marshall, yang memiliki kekuatan 700 kali lipat dari bom Little Boy yang di jatuhkan di Hiroshima. Dengan daya ledak sekitar 10,4 megaton TNT, bom hidrogen ini menunjukkan potensi kehancuran yang jauh lebih besar daripada bom atom.
Setelahnya, pada 1954, AS menguji bom hidrogen siap pakai pertama, Castle Bravo. Ledakan Castle Bravo memunculkan awan jamur setinggi 64 km dan memiliki daya ledak 15 megaton TNT, lebih dari dua kali lipat dari yang di perkirakan. Pengujian ini menciptakan gelombang kejut yang terasa hingga 100 km dan dampak radiasi yang luar biasa. Sementara itu, Soviet tidak tinggal diam dan berhasil menguji bom hidrogen mereka sendiri pada 1953 dengan kode Jo-4, dan pada 1961 menguji bom hidrogen terbesar yang pernah ada: Tsar Bomba.
Tsar Bomba: Bom Nuklir Terbesar yang Pernah Diledakkan
Pada 1961, Soviet melakukan uji coba Tsar Bomba di Kutub Utara, dengan kekuatan ledak 50 megaton TNT. Ledakan ini menciptakan awan jamur setinggi 64 km, yang bahkan terlihat dari jarak lebih dari 1.000 km. Tsar Bomba memiliki kekuatan 3.300 kali lipat dari bom Hiroshima dan sekitar tiga kali lebih kuat dari bom hidrogen terbesar AS. Gelombang kejutnya menghancurkan bangunan dalam radius lebih dari 100 km dan menyebabkan efek radiasi yang luar biasa.
Meskipun Tsar Bomba sangat mengerikan, Soviet memutuskan untuk menurunkan potensi ledakan bom ini dari 100 megaton ke 50 megaton untuk mengurangi dampak radiasi yang sangat berbahaya. Meski begitu, bom ini tetap menjadi simbol betapa dahsyatnya perlombaan nuklir antara dua kekuatan besar ini.
Perlombaan Senjata dan Kesadaran Global
Kekuatan destruktif bom hidrogen yang mengerikan akhirnya menyadarkan dunia akan bahaya yang di timbulkan oleh senjata nuklir. Kedua negara besar ini, meskipun terlibat dalam pengembangan senjata yang lebih kuat. Mulai menyadari bahwa senjata sebesar itu tidak praktis di gunakan dalam perang karena dampak destruktifnya yang tidak terkendali. Oleh karena itu, pada tahun 1963, Perjanjian Larangan Uji Coba Nuklir di tandatangani untuk melarang uji coba nuklir di atmosfer, luar angkasa, serta bawah laut.
Perang Dingin: Pertarungan Ideologi dan Propaganda
Meskipun Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak terlibat dalam perang langsung, ketegangan mereka terus berkembang dalam berbagai bentuk. Selain perlombaan senjata nuklir, kedua negara ini juga bersaing dalam hal pengaruh politik, ideologi, dan teknologi. Di bidang luar angkasa, Uni Soviet berhasil meluncurkan satelit pertama, Sputnik 1, pada tahun 1957. Yang menandakan keunggulan mereka dalam teknologi luar angkasa. Amerika Serikat membalas dengan program Apollo, yang akhirnya mengirim manusia pertama, Neil Armstrong, ke bulan pada 1969.
Selain itu, kedua negara ini juga mendukung negara-negara yang terlibat dalam konflik-konflik proxy seperti Perang Korea (1950-1953) dan Perang Vietnam (1955-1975), di mana AS mendukung pihak yang berlawanan dengan komunisme, sementara Soviet mendukung negara-negara yang berpaham komunis.
Rusia: Kekuatan Militer yang Tidak Terkalahkan
Meski Uni Soviet bubar pada tahun 1991, Rusia yang merupakan penerusnya tetap menjadi kekuatan besar yang sulit untuk ditundukkan. Rusia memiliki kekuatan militer yang sangat besar, termasuk persenjataan nuklir, sistem pertahanan udara canggih seperti S-400 dan S-500. Serta armada kapal selam nuklir yang dapat mengancam AS tanpa terdeteksi.
Geografi Rusia yang luas, iklim ekstrem, dan sejarah panjang perlawanan terhadap penakluk asing menjadikan negara ini sulit untuk dijajah. Masyarakat Rusia memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Kebijakan wajib militer memastikan bahwa banyak warga memiliki pelatihan dasar dalam strategi militer. Kekuatan militer Rusia, di tambah dengan dukungan dari negara-negara sekutu, membuat negara ini tetap menjadi ancaman bagi Amerika Serikat hingga hari ini.
Kesimpulan
Meskipun Perang Dingin secara resmi berakhir pada tahun 1991 dengan runtuhnya Uni Soviet. Ketegangan antara Amerika Serikat dan Rusia terus berlangsung. Dengan persaingan dalam teknologi, politik, dan kekuatan militer yang terus berkembang. Kedua negara ini tetap terjebak dalam “perang senyap” yang tidak pernah benar-benar berakhir.
Sumber : Youtube