Berita Dunia Terkini – Tanpa peringatan, tanpa aba-aba. Di tengah malam yang sunyi pada 25 Mei 2025, langit Ukraina mendadak berubah menjadi neraka. Lebih dari 360 senjata udara diluncurkan oleh Rusia, menandai serangan terbesar sejak invasi dimulai pada 2022. Namun, lebih dari sekadar kekuatan destruktif, Kremlin menyisipkan pesan yang jauh lebih mengerikan: Kami bisa menghancurkan segalanya, tanpa memicu perang dunia.
Ini bukan hanya serangan militer. Ini adalah panggung teatrikal geopolitik. Rusia tidak sedang berbicara kepada Ukraina saja, tetapi kepada dunia—kepada NATO, kepada Eropa, kepada siapa saja yang masih berharap pada diplomasi.
Kekuatan Penuh di Tengah Malam
Serangan dimulai pukul 02:50 waktu Kiev. Dalam waktu kurang dari lima jam, lebih dari 30 wilayah di Ukraina di hantam. Total 298 drone, di tambah puluhan rudal balistik dan jelajah, diarahkan ke infrastruktur vital seperti stasiun energi, fasilitas radar, menara komunikasi, hingga gudang senjata di berbagai kota besar—Kyiv, Kharkiv, Mykolaiv, Ternopil, Vinnytsia, hingga Zhytomyr.
Ukraina mengklaim berhasil menjatuhkan sebagian besar senjata, namun kerusakan tetap tak terelakkan. Di Kyiv, pecahan drone Shahed-136 yang di tembak jatuh justru membakar sebuah apartemen. Di Zhytomyr, tiga anak menjadi korban. Total 12 orang tewas dan lebih dari 60 lainnya terluka.
Target Strategis atau Teror Warga Sipil?
Narasi pun berselisih. Barat mengecam serangan ini sebagai aksi brutal terhadap warga sipil. Sementara militer Rusia bersikukuh bahwa semua target adalah fasilitas militer strategis. Menurut Moskow, ini adalah pembalasan atas serangan Ukraina ke wilayah Rusia dalam beberapa minggu terakhir.
Menariknya, serangan ini tidak dilakukan dalam satu gelombang besar, melainkan bertahap. Hal ini membuat radar Ukraina kewalahan dan stok rudal anti-udara cepat habis. Strategi ini, menurut analis militer, tak hanya di tujukan untuk merusak logistik, tetapi juga sebagai eksperimen—uji coba terhadap efektivitas sistem pertahanan terbaru dari Barat.
Sinyal Politik Setelah Pertukaran Tahanan
Tanggal 25 Mei bukan tanggal sembarangan. Serangan ini di luncurkan hanya beberapa jam setelah pertukaran tahanan terbesar antara Rusia dan Ukraina sejak perang pecah: lebih dari 1.000 orang di kembalikan ke masing-masing pihak. Ketika dunia menafsirkannya sebagai tanda menuju damai, Rusia justru memberi sinyal sebaliknya: perdamaian hanya datang dari posisi dominasi.
Peringatan Kepada NATO dan Dunia
Selama dua bulan terakhir, Barat—khususnya Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat—mengirimkan sistem pertahanan mutakhir ke Ukraina, termasuk Patriot, NASAMS, dan IRIS-T. Tak lama setelahnya, Ukraina mulai meluncurkan drone ke wilayah Rusia. Kremlin menafsirkan ini sebagai pelanggaran garis merah.
Dan seperti doktrin klasik militer Rusia, tekanan bukan di kurangi setelah di plomasi, tapi justru ditingkatkan. Ini adalah cara Moskow mengingatkan NATO: netralitas di meja diplomasi tak berarti netral di medan perang.
Peran Cina: Netral di Bibir, Dukung di Balik Layar
Di tengah kabut konflik, muncul aktor senyap yang perannya mulai terkuak: Cina. Selama ini di kenal sebagai penengah dan pendukung resolusi damai, laporan intelijen Ukraina mengungkap bahwa Cina telah memasok mesin presisi, bahan kimia, hingga peralatan penting ke lebih dari 20 pabrik militer Rusia.
Cina membantah keras tuduhan itu. Namun kenyataan bahwa Rusia masih mampu memproduksi ratusan drone dan rudal di tengah embargo teknologi dari Barat, menjadi bukti bahwa logistik tak pernah benar-benar terputus.
Barat Menggeser Batasan
Di sisi lain, respons dari Barat pun mengalami perubahan signifikan. Beberapa jam setelah serangan Rusia, Jerman secara resmi mencabut larangan penggunaan senjata mereka untuk menyerang wilayah Rusia. Rudal-rudal seperti Storm Shadow, ATACMS, bahkan Taurus kini di izinkan menghantam sasaran di dalam negeri Rusia.
Langkah ini didukung Kyiv, tetapi di anggap Moskow sebagai provokasi serius. Presiden Putin bahkan memperingatkan bahwa negara manapun yang membantu serangan dalam wilayah Rusia bisa menjadi target sah—bahkan dengan senjata nuklir.
Diamnya Amerika dan Frustrasi Eropa
Mantan Presiden AS, Donald Trump, yang selama ini di kenal pro-Rusia, menyebut Putin “benar-benar gila” setelah serangan ini. Namun meski retorikanya keras, tak ada tindakan nyata dari Washington: tak ada sanksi baru, tak ada tekanan diplomatik tambahan.
Ketidakaktifan ini memicu frustrasi di antara para pemimpin Eropa. Mereka mulai mempertanyakan: apakah Amerika benar-benar masih komitmen? Dan jika diplomasi telah kehilangan maknanya, lalu ke mana dunia akan menuju?
Akhir yang Belum Tampak
Peristiwa ini memperjelas bahwa perang belum mendekati garis akhir. Alih-alih, ia memasuki babak baru: lebih canggih, lebih brutal, dan lebih sarat pesan tersembunyi. Rusia tak sekadar menyerang Ukraina—mereka sedang mendikte ulang aturan permainan global.
Maka pertanyaannya kini bukan hanya kapan perang ini akan berakhir, tetapi juga di mana akhirnya akan terjadi—di meja perundingan, atau di reruntuhan kota terakhir?
Sumber : Youtube.com