Berita Dunia Terkini – Pemilu di Guinea-Bissau seharusnya menjadi awal baru bagi negara kecil di tepi Samudra Atlantik itu. Namun belum genap sehari setelah proses penghitungan suara di mulai, jalan-jalan utama di ibu kota sudah dipenuhi tentara bersenjata. Dua kandidat presiden sama-sama mengklaim kemenangan, sementara hasil resmi belum di umumkan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Alih-alih pernyataan dari lembaga pemilu, yang muncul di layar televisi justru seorang jenderal. Dalam hitungan jam, militer mengambil alih kekuasaan, membekukan lembaga negara, dan menahan elite politik dari kedua kubu. Guinea-Bissau kembali jatuh ke tangan militer bahkan sebelum demokrasi diberi kesempatan menyelesaikan prosesnya.
Klaim Kemenangan Ganda dan Kekosongan Kekuasaan
Presiden Umaro Sissoco Embaló mengklaim unggul dalam pemilu, sementara pesaing utamanya, Fernando Dias Costa, juga menyatakan hal serupa. Dualisme klaim ini menciptakan kekosongan politik yang berbahaya. Ketika lembaga resmi belum sempat mengesahkan hasil akhir, militer bergerak lebih cepat.
Pasukan bersenjata menguasai pusat pemerintahan, menghentikan proses demokrasi, dan mengambil alih kendali negara. Tidak ada penjelasan rinci mengenai nasib para kandidat, status hukum mereka, atau dasar konstitusional dari tindakan tersebut.
Dalih Pencegahan Manipulasi Tanpa Bukti
Militer beralasan bahwa pengambilalihan kekuasaan dilakukan untuk mencegah manipulasi pemilu. Namun hingga kini, tidak ada bukti yang di tunjukkan kepada publik. Tidak ada laporan investigasi, tidak ada audit independen, dan tidak ada ruang bagi masyarakat untuk memverifikasi klaim tersebut.
Dengan kata lain, apapun alasan yang di kemukakan, proses demokrasi dihentikan di tengah jalan tanpa mekanisme akuntabilitas.
Reaksi Internasional yang Kian Kehilangan Daya Tekan
ECOWAS, Uni Afrika, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa segera mengecam kudeta tersebut dan menyerukan pemulihan tatanan konstitusional. Namun di Afrika Barat, kecaman internasional semakin kehilangan pengaruh. Pola serupa telah terjadi di Mali, Burkina Faso, Niger, dan Guinea.
Militer memahami bahwa tekanan diplomatik kini jarang berujung pada intervensi nyata. Hal ini membuat kudeta menjadi pilihan yang relatif “aman” bagi kelompok bersenjata.
Akar Masalah: Negara yang Lahir dari Senjata
Untuk memahami mengapa kudeta di Guinea-Bissau terjadi begitu cepat, perlu melihat sejarah negara ini. Guinea-Bissau lahir dari perang gerilya bersenjata melawan Portugal pada 1960–1974. Sejak awal kemerdekaan, militer bukan sekadar alat negara—militer adalah negara itu sendiri.
Sejak 1980, Guinea-Bissau mengalami rangkaian kudeta, pembunuhan politik, pembubaran parlemen, hingga perang saudara pada 1998–1999. Pada 2009, Presiden João Bernardo Vieira tewas di bunuh oleh elemen militer.
Bahkan Presiden Embaló sendiri beberapa kali membubarkan parlemen selama masa jabatannya pada 2022 dan 2023. Konflik antara sipil dan militer bukanlah anomali, melainkan pola yang berulang.
Guinea-Bissau dan Bayang-Bayang Narkotika Global
Ada satu faktor besar yang jarang di bahas dalam debat politik: Guinea-Bissau merupakan salah satu jalur transit kokain terbesar di Afrika Barat. Letaknya yang strategis menjadikannya penghubung perdagangan narkotika dari Amerika Latin ke Eropa.
Pelabuhan kecil dan garis pantai yang panjang memungkinkan penyelundupan skala besar. Nilai ekonomi perdagangan gelap ini jauh melampaui anggaran resmi negara. Dalam beberapa laporan internasional, pejabat militer dan keamanan Guinea-Bissau pernah di sebut terlibat jaringan narkotika.
Ketika ekonomi gelap lebih kuat daripada ekonomi formal, kekuasaan pun berpindah tangan. Pemilu, parlemen, dan hukum kehilangan daya kendali.
Kudeta 2025 dan Kepentingan Status Quo
Dalam konteks ini, kudeta 2025 tidak bisa di lepaskan dari kepentingan mempertahankan status quo. Ketika dua kandidat sama-sama mengklaim kemenangan, tidak ada satu pihak pun yang cukup kuat menjamin kepentingan jaringan lama.
Dalam situasi ketidakpastian, kekuatan bersenjata memilih mengambil alih kendali daripada menunggu hasil demokrasi yang berisiko mengubah keseimbangan kekuasaan.
Janji Transisi Satu Tahun yang Dipertanyakan
Militer Guinea-Bissau mengumumkan masa transisi selama satu tahun. Namun hingga kini, tidak ada peta jalan yang jelas. Tidak di ketahui siapa yang memimpin pemerintahan sementara, bagaimana status parlemen, atau kapan hasil pemilu akan di umumkan.
ECOWAS telah menangguhkan Guinea-Bissau dari badan pengambilan keputusan regional. Namun pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa sanksi regional sering kali tidak cukup kuat untuk memaksa junta mundur.
Dampak Ekonomi dan Masa Depan yang Tidak Pasti
Guinea-Bissau bergantung pada ekspor kacang mete dan impor bahan pangan. Lebih dari 80 persen penduduknya hidup dari pertanian kecil. Ketidakstabilan politik mengancam distribusi, harga, dan akses pasar internasional.
Jika sanksi ekonomi di berlakukan atau investor asing menarik diri, negara ini berisiko terjerumus ke krisis yang lebih dalam, dan kembali bergantung pada ekonomi gelap.
Demokrasi yang Selalu Kalah Cepat dari Senjata
Guinea-Bissau mungkin negara kecil, tetapi pola kejatuhannya selalu sama. Setiap pemilu menghadirkan harapan, dan setiap harapan berakhir dengan pengambilalihan oleh pihak yang tidak di pilih rakyat.
Selama senjata bergerak lebih cepat daripada suara rakyat, Guinea-Bissau tidak akan pernah memiliki pemenang pemilu. Yang ada hanyalah penguasa baru dan siklus lama yang terus berulang.
Sumber : Youtube.com

