Konflik di Kongo: Kekejaman Kelompok Pemberontak M23 terhadap Tahanan WanitaKonflik di Kongo: Kekejaman Kelompok Pemberontak M23 terhadap Tahanan Wanita

Berita Dunia Terkini – Konflik yang berkepanjangan di Republik Demokratik Kongo semakin mengerikan dengan tindakan kekerasan yang tak terbayangkan. Salah satu insiden tragis terjadi ketika kelompok pemberontak M23 memasuki Kota Goma pada akhir Januari 2025, menyebabkan terjadinya pembobolan penjara dan kekejaman terhadap tahanan, terutama tahanan wanita. Ratusan wanita menjadi korban pemerkosaan dan pembakaran hidup-hidup dalam insiden yang menunjukkan semakin brutalnya situasi di Kongo timur.

Pembobolan Penjara dan Kekerasan terhadap Tahanan Wanita

Insiden ini terjadi setelah kelompok pemberontak M23 berhasil mencapai pusat Kota Goma pada 27 Januari 2025. Saat itu, para narapidana laki-laki berusaha melarikan diri, namun di bagian penjara wanita, terjadi pembakaran dan kekerasan seksual yang tak terbayangkan. Vivian van de Perre, Wakil Kepala Pasukan Penjaga Perdamaian PBB yang berbasis di Goma, menjelaskan bahwa kelompok pemberontak membobol penjara Munzenze. Tempat penahanan ribuan tahanan, termasuk ratusan wanita.

Menurut Van de Perre, pembobolan tersebut menyebabkan sekitar 4.000 tahanan melarikan diri, sementara sekitar beberapa ratus perempuan yang ada di penjara itu menjadi korban. “Ratusan perempuan ini semuanya di perkosa dan kemudian mereka membakar sayap penjara perempuan. Mereka semua meninggal setelahnya,” kata Van de Perre dalam wawancaranya dengan The Guardian. Kejadian ini menggambarkan tingkat kekejaman yang sangat tinggi dalam konflik yang telah berlangsung lama di wilayah tersebut.

Pembatasan Akses dan Penyelidikan yang Tertunda

Pasukan penjaga perdamaian PBB yang berada di Goma belum dapat mengakses lokasi penjara untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Hal ini di sebabkan oleh pembatasan yang di berlakukan oleh kelompok M23, yang menguasai daerah tersebut. Akibatnya, identitas para pelaku kekejaman ini masih belum dapat di pastikan.

Situasi ini menambah kompleksitas dari upaya untuk memahami sepenuhnya skala kerusakan yang terjadi. Serta untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak yang bertanggung jawab. Meski demikian, insiden pembobolan penjara ini telah menambah daftar panjang kekejaman yang di lakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata di wilayah tersebut.

Kekerasan Seksual sebagai Senjata Perang

Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) juga memberikan peringatan keras terkait kekerasan seksual yang semakin meluas di Kongo, di mana kelompok bersenjata seperti M23 menggunakan pemerkosaan sebagai senjata perang. Hal ini menambah beban bagi masyarakat yang sudah lama menderita akibat konflik yang tak kunjung berakhir di wilayah timur Kongo.

Dalam laporan mereka, OHCHR menekankan bahwa kekerasan seksual, yang di gunakan untuk melemahkan lawan dan menghancurkan komunitas, telah menjadi bagian dari strategi perang. Kejadian-kejadian seperti ini memperburuk keadaan dan meningkatkan ketegangan etnis yang sudah lama ada di wilayah ini.

Latar Belakang Konflik Kongo: Ketegangan Etnis Hutu dan Tutsi

Konflik di Kongo timur ini memang sudah berlangsung lama, terutama yang melibatkan kelompok etnis Hutu dan Tutsi. Ketegangan antara kedua kelompok ini memiliki akar sejarah yang dalam, yang dimulai dengan peristiwa genosida yang terjadi di. Rwanda pada tahun 1994, di mana sekitar satu juta orang etnis Tutsi di bunuh oleh kelompok Hutu. Ketika etnis Tutsi melawan, banyak dari kelompok Hutu melarikan diri ke Kongo. Dan Rwanda kemudian menuding bahwa banyak anggota Hutu yang terlibat dalam genosida tersebut kini berada di Kongo dan mendapat perlindungan dari tentara Kongo.

Kelompok M23, yang sebagian besar terdiri dari etnis Tutsi, menganggap pemerintah Kongo telah mengkhianati mereka dalam hal perlindungan dan hak-hak mereka. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk memberontak dan menduduki beberapa wilayah di Kongo timur. Termasuk Goma, yang menjadi titik utama konflik saat ini.

Harapan untuk Perdamaian yang Semakin Pudar

Dengan situasi yang semakin buruk dan ketegangan etnis yang semakin tinggi, harapan untuk perdamaian di wilayah ini tampaknya semakin pudar. Masyarakat internasional, termasuk PBB dan negara-negara yang terlibat dalam upaya perdamaian, menghadapi tantangan besar dalam mencoba menghentikan kekerasan ini. Namun, dengan banyaknya pembatasan akses dan kurangnya koordinasi antara pihak-pihak yang terlibat, jalan menuju perdamaian semakin sulit tercapai.

Situasi di Kongo membutuhkan perhatian serius dari komunitas internasional untuk mengakhiri kekerasan ini. Memberikan perlindungan bagi warga sipil yang terperangkap dalam konflik, dan menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan perang yang telah terjadi.

Sumber : News.com

By ALEXA