Berita Dunia Terkini – Sebelum menjelma menjadi kekuatan ekonomi global, Cina adalah negara agraris yang sangat miskin, bahkan lebih tertinggal dibandingkan Indonesia. Namun, sejak akhir 1970-an, sebuah perubahan besar terjadi yang mengubah wajah Cina secara dramatis. Di balik transformasi luar biasa ini berdiri dua tokoh utama: Deng Xiaoping dan Zhu Rongji. Mereka bukan hanya mengarahkan kebijakan, tetapi juga mengubah pola pikir, sistem, dan orientasi masa depan negeri Tirai Bambu.
Cina Pasca-Mao: Negara di Ambang Kehancuran
Meninggalnya Mao Zedong pada tahun 1976 meninggalkan Cina dalam kondisi sosial dan ekonomi yang porak-poranda. Kebijakan “Lompatan Jauh ke Depan” dan Revolusi Kebudayaan telah melumpuhkan sistem pendidikan, merusak ekonomi, serta menyebabkan penderitaan jutaan orang. Sekitar 80% dari lebih dari 900 juta penduduk hidup dalam kemiskinan ekstrem. Negara terisolasi dari dunia luar dan terjerat dalam dogma ideologi yang kaku.
Munculnya Deng Xiaoping: Pragmatis di Tengah Ideolog
Deng Xiaoping, seorang veteran revolusi yang sempat tersingkir di era Mao, muncul sebagai tokoh sentral dalam membalikkan arah kebijakan. Ia memperkenalkan prinsip yang sangat pragmatis: “Tidak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus.” Filosofi ini menjadi fondasi kebijakan reformasi Cina yang menolak ideologi kaku dan lebih fokus pada hasil nyata.
Pada Pleno Ketiga Partai Komunis Cina pada Desember 1978, Deng berhasil menggeser dominasi ideolog garis keras dan mengalihkan fokus partai dari perjuangan kelas ke pembangunan ekonomi. Inilah tonggak awal dari era reformasi dan keterbukaan.
Empat Modernisasi: Misi Besar Deng Xiaoping
Visi Deng sangat jelas: Cina harus mengejar empat modernisasi—di bidang pertanian, industri, pertahanan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu kisah reformasi awal yang melegenda berasal dari Desa Xiaogang, Anhui, di mana para petani membagi lahan kolektif menjadi milik individu secara diam-diam. Hasil panen mereka melonjak, dan bukannya dihukum, inisiatif ini justru mendapat restu dari Deng. Kebijakan ini menjadi cikal bakal sistem tanggung jawab rumah tangga yang merevolusi pertanian Cina.
Revolusi Industri dan Perdagangan: Ekonomi Mulai Terbang
Dalam sektor industri, Deng mendesentralisasi pengelolaan pabrik, memberi otonomi kepada manajer, dan memperkenalkan insentif ekonomi seperti bonus pekerja. Di bidang perdagangan, ia membuka pintu bagi investasi asing dan menjalin hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat pada 1979. Salah satu inovasi terbesarnya adalah zona ekonomi khusus (ZEK) seperti Shenzhen, yang tumbuh dari desa nelayan menjadi kota industri modern.
Pembangunan Pendidikan dan Kebijakan Satu Anak
Deng menyadari pentingnya ilmu pengetahuan. Ia memulihkan sistem ujian masuk perguruan tinggi (Gaokao) dan mendorong wajib belajar 9 tahun. Pada saat yang sama, untuk mengendalikan ledakan populasi, di terapkan kebijakan satu anak, meski menuai konsekuensi jangka panjang seperti ketimpangan gender dan populasi menua.
Budaya dan Kehidupan Sosial yang Mulai Terbuka
Di era Deng, masyarakat Cina mulai menikmati angin segar. Sensor budaya sedikit di longgarkan. Televisi menayangkan drama dari Hong Kong, musik barat mulai terdengar, dan masyarakat di perbolehkan mengejar kemakmuran pribadi. Namun, kebebasan ini tetap di batasi: kritik terhadap partai dan ideologi komunis tidak ditoleransi.
Bayang-Bayang Ketimpangan dan Korupsi
Reformasi ekonomi menciptakan kelas menengah baru, namun juga menyebabkan kesenjangan pendapatan yang melebar. Warga kota pesisir seperti di Shanghai dan Shenzhen menikmati kemakmuran, sementara wilayah pedalaman tertinggal. Fenomena korupsi dan kolusi mulai muncul ketika pejabat dan kroni memanfaatkan peluang dalam ekonomi terbuka.
Tragedi Tiananmen: Batas Keras Kebebasan Politik
Meski Deng seorang reformis dalam ekonomi, ia tetap teguh dalam hal kekuasaan politik. Ketika ribuan mahasiswa berdemo di Lapangan Tiananmen tahun 1989 menuntut demokrasi, Deng memilih jalur keras. Insiden berdarah pada 4 Juni 1989 merenggut ratusan hingga ribuan nyawa dan menjadi noda hitam dalam sejarah reformasi Cina.
Warisan Deng Xiaoping: Sosialisme dengan Karakteristik Cina
Setelah Tiananmen, Deng tetap menjadi tokoh kuat di balik layar. Ia menetapkan Jiang Zemin sebagai penerus dan perlahan mundur dari politik hingga wafat pada tahun 1997. Di akhir hayatnya, Deng telah meninggalkan pondasi kokoh bagi sebuah Cina yang modern dan terbuka secara ekonomi, namun tetap otoriter secara politik.
Kesimpulan: Deng dan Kelahiran Cina Baru
Transformasi Cina dari negara miskin menjadi raksasa ekonomi dunia adalah salah satu kisah paling mencengangkan dalam sejarah modern. Deng Xiaoping di kenang sebagai arsitek utama reformasi dan keterbukaan—seorang pemimpin yang dengan penuh perhitungan menggabungkan kapitalisme pragmatis dengan kekuasaan politik tunggal. Meski banyak hal masih kontroversial, warisan Deng tetap hidup dalam “sosialisme dengan karakteristik Cina”, yang hingga kini menjadi dasar pembangunan negara dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
Sumber : Youtube.com