Jebakan Ekonomi: Asia Tenggara Diperangkap di Antara Dua RaksasaJebakan Ekonomi: Asia Tenggara Diperangkap di Antara Dua Raksasa

Berita Dunia Terkini – Bayangkan kamu adalah pedagang kecil yang setiap hari menjajakan dagangan ke pasar besar di kota. Suatu hari, pengelola pasar tiba-tiba memungut pajak masuk sangat tinggi khusus untuk pedagang dari desamu. Bingung, khawatir, dan merasa tidak adil. Inilah yang kini dirasakan banyak negara di Asia Tenggara akibat kebijakan tarif impor tinggi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump.

Indonesia dikenai tarif sebesar 32%, Vietnam 46%, Myanmar 44%, Thailand 36%, Laos 48%, dan Kamboja 49%. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah pukulan nyata terhadap ekonomi kawasan.

Mengapa Asia Tenggara Diperlakukan Lebih Keras?

Asia Tenggara dikenai tarif jauh lebih tinggi dibandingkan negara Asia lainnya. Jepang hanya 20%, Korea Selatan 18%, India 22%, Pakistan 20%, dan Bangladesh 24%. Bahkan Cina yang dikenai tarif 145% justru diperlakukan sebagai pemain utama dalam konflik dagang AS.

Salah satu alasan utama: surplus perdagangan. Negara-negara Asia Tenggara menjual jauh lebih banyak barang ke AS daripada yang mereka beli. Tahun 2024, Indonesia surplus hingga USD 17 miliar, Vietnam USD 123 miliar, Thailand USD 45 miliar, Malaysia USD 24 miliar, dan bahkan Kamboja surplus USD 12 miliar. Meski surplus Laos hanya USD 700 juta, tarifnya tetap tinggi.

Perang Dagang dan Rencana di Balik Tarif

Hubungan dagang antara AS dengan Jepang atau Korea Selatan lebih bersahabat karena adanya perjanjian khusus. Sebaliknya, Asia Tenggara dengan tenaga kerja murah dan produksi efisien menjadi ancaman bagi industri dalam negeri AS.

Trump menyatakan bahwa tarif ini bertujuan untuk mendorong masyarakat Amerika membeli produk lokal, membuka lapangan kerja, dan menambah pemasukan negara. Namun, ada strategi lain: menghambat pengaruh Cina.

Cina dan Jalur Produksi Baru di Asia Tenggara

Saat perang dagang AS–Cina memanas pada 2018–2019, banyak perusahaan Cina memindahkan pabrik ke Asia Tenggara untuk menghindari tarif. Vietnam menjadi tujuan utama, diikuti oleh Indonesia, Thailand, dan Kamboja. Barang produksi Cina akhirnya tetap masuk ke AS, hanya saja kini berlabel “Made in Vietnam” atau “Made in Indonesia”.

Data Departemen Perdagangan AS mencatat, 25% ekspor elektronik Vietnam dan 18% ekspor nikel Indonesia tahun 2024 terkait dengan perusahaan Cina. Di sinilah strategi tarif tinggi di gunakan untuk mengganggu jalur tak langsung masuknya produk Cina ke pasar Amerika.

Tekanan AS Terhadap Kebijakan Dalam Negeri Asia Tenggara

AS tidak hanya menghukum dengan tarif. Mereka juga menekan agar negara-negara Asia Tenggara mengubah kebijakan perdagangan mereka. Indonesia di kritik atas syarat penggunaan komponen lokal. Vietnam di nilai menciptakan persaingan tidak sehat dengan subsidi ekspor 20%. Thailand di tuding membatasi impor daging dan kedelai. Malaysia di batasi karena perlindungan ekspor semikonduktor, dan Kamboja karena regulasi tenaga kerja yang longgar.

Ancaman Ekonomi Serius di Asia Tenggara

Tarif tinggi ini membawa dampak besar. Myanmar yang masih di landa konflik dan bencana, berisiko makin terpuruk. Kamboja berisiko kehilangan 22% tenaga kerja di sektor tekstil. Indonesia bisa kehilangan 15% ekspor minyak sawit dan nikel. Vietnam menghadapi ancaman hilangnya 1,2 juta lapangan kerja. Thailand dan Malaysia juga menghadapi potensi penurunan ekspor signifikan.

Cina Mengambil Peluang, Memperkuat Hubungan

Di tengah tekanan ini, Cina tak tinggal diam. Presiden Xi Jinping baru-baru ini melakukan kunjungan diplomatik ke Vietnam, Malaysia, dan Kamboja. Hasilnya? Penandatanganan 45 kerja sama bilateral yang mencakup infrastruktur, AI, perdagangan, hingga budaya. Ini adalah strategi Beijing untuk memperdalam hubungan strategis di kawasan dan mengisi ruang yang di tinggalkan oleh AS.

Langkah Amerika: Penundaan Tarif dan Strategi Negosiasi

Meski keras, AS juga memberi waktu. Pada 9 April 2025, Presiden Trump menunda penerapan tarif selama 90 hari untuk beberapa negara ASEAN, kecuali Cina. Penundaan ini memberi peluang untuk negosiasi, tapi juga di baca sebagai taktik memaksa negara-negara Asia Tenggara membuka pasar mereka lebih lebar.

ASEAN Beralih ke RCEP: Opsi atau Pelarian?

Dengan ketidakpastian dari AS, negara-negara ASEAN mulai mengalihkan fokus ke pasar dalam kerangka Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Pada 2024, perdagangan antaranggota RCEP meningkat 12%. Vietnam dan Indonesia mengalihkan 20% ekspor mereka ke kawasan ini. Malaysia meningkatkan ekspor ke Cina, dan Kamboja memperluas pasar tekstil ke Jepang dan Korea Selatan.

Dilema Strategis Asia Tenggara

Namun, lepas dari bayang-bayang Amerika tidaklah mudah. Pasar AS tetap penting, baik untuk ekspor, teknologi, maupun aliansi pertahanan. Asia Tenggara kini berada dalam posisi sulit: membangun kedekatan baru tanpa bisa meninggalkan yang lama.

Sumber : Youtube.com

By ALEXA