Berita Dunia Terkini – Di sebuah sudut terpencil bumi, terhampar tanah yang seakan dilupakan langit. Inilah Gurun Atacama—hamparan kering dan tandus yang mencengkeram wilayah Chili, Bolivia, dan Argentina. Udara di sini begitu kering, hingga retakan-retakan tanah menjadi bagian dari wajah alam yang terbakar. Suhu siang hari bisa mencapai 40°C, namun saat malam tiba, dingin mendekati titik beku menggigit segala kehidupan yang tersisa.
Namun, di balik keganasan alam ini, tersembunyi harta karun yang membuat dunia bertekuk lutut: litium—”emas putih” abad ke-21. Bahan vital ini menjadi jantung dari revolusi teknologi: menggerakkan mobil listrik, menyuplai daya pada ponsel pintar, hingga menyimpan energi dari pembangkit listrik tenaga surya dan angin.
Tanah Tandus yang Kaya Raya
Atacama bukan gurun biasa. Terjepit di antara Pegunungan Andes dan Samudra Pasifik, wilayah ini mengalami fenomena bayangan hujan. Awan lembab dari laut yang seharusnya membawa hujan terhalang oleh Andes, dipaksa naik dan menumpahkan airnya di sisi lain. Akibatnya, Atacama dibiarkan kering kerontang—bahkan ada tempat yang tak menerima setetes hujan selama lebih dari 400 tahun.
Namun justru dari kekeringan ekstrem ini, terbentuklah kekayaan luar biasa. Air yang menguap dari Andes selama jutaan tahun meninggalkan garam di dataran luas bernama salares. Di bawah kristal garam yang berkilau di bawah matahari inilah litium tersembunyi dalam jumlah yang mencengangkan.
Salar de Atacama di Chili adalah salah satu cadangan litium terbesar di dunia. Pada 2022, Chili menyumbang 29% produksi litium global—sekitar 39.000 ton. Di Bolivia, Salar de Uyuni menyimpan cadangan hingga 21 juta ton. Sementara Argentina, dengan Salar del Hombre Muerto dan lainnya, melengkapi kawasan yang dijuluki Segitiga Litium—pusat dari “emas” baru dunia.
Janji Hijau yang Penuh Luka
Dengan proyeksi nilai pasar mencapai USD 134 miliar pada 2032, litium menjadi rebutan. Namun kekayaan ini tidak datang tanpa harga. Dan harga itu seringkali dibayar oleh mereka yang paling lemah—warga lokal dan lingkungan sekitar.
Proses ekstraksi litium sangat rakus air. Untuk menghasilkan satu ton litium, dibutuhkan hingga 1,9 juta liter air. Di wilayah yang hampir tak mengenal hujan, air yang diambil berasal dari akuifer bawah tanah—sumber kehidupan terakhir suku asli Likanantai yang telah menetap di Atacama lebih dari 1000 tahun.
Air yang dulunya digunakan untuk minum, menyiram tanaman seperti quinoa dan jagung, serta memberi minum ternak seperti llama, kini dikuras habis. Ladang mengering, ternak mati, dan kehidupan perlahan terhapus.
Suara yang Tenggelam di Antara Mesin Tambang
Sejak 2007, suku Likanantai berjuang melawan raksasa tambang seperti SQM (Sociedad Química y Minera de Chile). Mereka menuntut penghentian penyedotan air yang melanggar hak atas tanah dan sumber daya, sebagaimana dijamin oleh Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat.
Pada 2018, ratusan anggota suku memblokir jalan tambang di Salar de Atacama, menentang truk-truk tambang dengan tangan kosong. Namun suara mereka nyaris tak terdengar, tertutup deru mesin dan bisikan keuntungan miliaran dolar.
Meski perusahaan mengklaim bahwa mereka hanya menggunakan air payau yang tak layak minum, data berbicara lain. Penelitian dari Nature Sustainability menunjukkan ekstraksi litium telah mengurangi cadangan air tanah hingga 30% di beberapa wilayah sejak 1980-an. Bagi Likanantai, ini bukan hanya air, tapi nyawa.
Paradoks Hijau di Negeri Kering
Ironisnya, ekspor litium menghasilkan USD 7,5 miliar bagi Chili pada 2022, menjadikannya pilar ekonomi utama. SQM sendiri mencatat pendapatan USD 10,7 miliar di tahun yang sama. Tapi di balik angka-angka megah itu, rumah-rumah warga lokal tetap sederhana, terbuat dari bata tanah liat tanpa listrik atau air bersih.
Wilayah seperti Antofagasta—yang mencakup Salar de Atacama—masih mencatat angka kemiskinan sebesar 8,5%, jauh di atas rata-rata nasional. Sebuah ironi: tanah mereka menyumbang triliunan rupiah, tapi mereka sendiri hanya mendapat remah-remah.
Panggung Geopolitik di Tengah Gurun
Dunia semakin haus akan litium. Badan Energi Internasional memprediksi permintaan akan melonjak 40 kali lipat pada 2040. Cina, AS, dan Eropa pun berlomba mengamankan pasokan. Cina menguasai saham besar di SQM, AS mendorong perusahaan seperti Albemarle, dan Eropa menanam investasi besar di Argentina.
Namun dalam “Segitiga Litium” itu sendiri, ketegangan meningkat. Bolivia, meski kaya cadangan, masih tertatih dalam hal teknologi. Argentina, sebaliknya, membuka lebar pintu bagi investor asing seperti Tesla dan POSCO dari Korea Selatan. Persaingan ini bahkan memunculkan kembali luka lama, seperti sengketa Bolivia-Chili yang berakar dari Perang Pasifik abad ke-19.
Ekosistem yang Tercekik
Gurun Atacama yang dulu sunyi dan kokoh, kini mulai runtuh. Flamingo Andean, burung anggun yang bergantung pada laguna garam, mulai menghilang—populasinya turun 10–15% dalam dekade terakhir. Tanaman langka seperti kaktus raksasa yang bertahan ratusan tahun, kini terancam punah karena tanah mengering. Lebih dari 80 spesies flora dan fauna endemik di Gurun Atacama kini berada dalam ancaman serius.
Harta Karun Berdarah
Litium memang membawa harapan: kendaraan listrik yang bebas emisi, energi terbarukan yang menyelamatkan bumi. Tapi di Atacama, masa depan hijau terasa seperti kutukan. Di balik setiap baterai, tersimpan kisah pilu: ladang yang mengering, ternak yang mati, dan air mata yang tak terlihat.
Di tengah gemuruh teknologi dan ambisi hijau, Atacama terus menangis—mengajarkan kita bahwa tidak semua kemajuan datang tanpa korban. Dan mungkin, saat kita menggenggam ponsel pintar atau duduk di dalam mobil listrik, ada baiknya kita ingat: setiap kilowatt masa depan bisa membawa setetes air mata dari tanah yang hampir lupa apa itu air.
Sumber : Youtube.com