Berita Dunia Terkini – Pernahkah kamu memperhatikan bahwa banyak batas negara di benua Afrika tampak lurus, seolah-olah digambar dengan penggaris? Fenomena ini bukanlah kebetulan, melainkan warisan sejarah panjang yang penuh gejolak sebuah peninggalan dari era kolonial ang mengubah wajah Afrika untuk selamanya.
Sebelum “Perebutan Afrika”
Sebelum abad ke-19, sebagian besar wilayah Afrika masih belum sepenuhnya dikuasai oleh bangsa Eropa. Meskipun beberapa kekuatan kolonial seperti Portugis, Belanda, dan Inggris telah mendirikan pos-pos perdagangan di pesisir Afrika sejak abad ke-15, pedalaman Afrika relatif masih mandiri dan dikuasai oleh kerajaan serta suku lokal.
Namun, semua berubah ketika memasuki akhir abad ke-19. Dimulailah apa yang dikenal sebagai Scramble for Africa—perebutan wilayah oleh negara-negara Eropa yang berlangsung sangat intensif sejak tahun 1880-an. Negara-negara seperti Inggris, Prancis, Jerman, Belgia, Italia, dan Portugal berlomba-lomba untuk mengklaim sebanyak mungkin wilayah Afrika demi kepentingan ekonomi, politik, dan militer.
Konferensi Berlin: Membagi Benua Tanpa Persetujuan Afrika
Puncak dari perebutan ini terjadi dalam Konferensi Berlin tahun 1884–1885. Pertemuan yang di selenggarakan oleh Kanselir Jerman Otto von Bismarck ini mempertemukan negara-negara Eropa untuk menyusun kesepakatan pembagian wilayah Afrika. Tragisnya, tidak satu pun pemimpin lokal Afrika yang di undang untuk berpartisipasi.
Dalam konferensi ini, batas wilayah di tentukan secara sepihak berdasarkan garis lintang dan bujur—di gambar lurus di atas peta. Tujuannya? Untuk menghindari konflik antar sesama negara kolonial. Tapi yang tidak mereka pertimbangkan adalah keberagaman etnis, bahasa, budaya, dan struktur sosial yang telah hidup selama ribuan tahun di Afrika.
Ketidaksesuaian Budaya dan Dampak Jangka Panjang
Akibatnya, banyak batas negara di Afrika tampak tidak logis secara kultural, meskipun terlihat rapi di atas peta. Garis-garis lurus ini memisahkan satu kelompok etnis ke beberapa negara, atau menyatukan banyak kelompok etnis berbeda ke dalam satu negara tanpa sejarah politik bersama.
Contohnya:
-
Suku Somali tersebar di Somalia, Ethiopia, Kenya, dan Djibouti.
-
Suku Hausa hidup di Nigeria dan Niger.
-
Konflik antara suku Tutsi dan Hutu di Rwanda berujung pada tragedi genosida tahun 1994.
Masalah-masalah politik, perang saudara, dan instabilitas di banyak negara Afrika modern tak lepas dari sejarah pembagian wilayah ini. Garis lurus yang tampak sederhana itu ternyata menyimpan kerumitan sosial dan politik yang luar biasa.
Mengapa Batas Ini Masih Dipertahankan?
Setelah gelombang kemerdekaan negara-negara Afrika pada pertengahan abad ke-20, banyak pemimpin memilih untuk mempertahankan batas warisan kolonial. Mengubahnya di anggap berisiko memicu konflik yang lebih besar. Organisasi Persatuan Afrika (kini menjadi Uni Afrika) bahkan menetapkan prinsip untuk menghormati batas-batas yang sudah ada demi stabilitas regional.
Meski begitu, beberapa pengecualian pernah terjadi, seperti:
-
Kemerdekaan Eritrea dari Ethiopia pada tahun 1993.
-
Pembentukan Sudan Selatan pada tahun 2011.
Namun, proses-proses ini sering kali di iringi kekerasan dan ketidakpastian politik yang berkepanjangan.
Refleksi: Garis-Garis Lurus yang Masih Berbicara
Jadi, mengapa begitu banyak batas negara di Afrika berbentuk garis lurus? Jawabannya terletak pada sejarah kolonialisme dan perjanjian politik antar kekuatan Eropa yang tidak peduli terhadap realitas sosial dan budaya Afrika. Garis-garis itu adalah warisan masa lalu—sebuah simbol dari bagaimana kekuasaan asing pernah memaksakan kehendaknya tanpa mempertimbangkan konsekuensinya bagi jutaan manusia.
Memahami sejarah ini penting. Bukan hanya sebagai pelajaran tentang masa lalu, tetapi juga sebagai refleksi akan pentingnya keadilan, kedaulatan, dan rasa hormat terhadap keberagaman.
Sumber : Youtube.com