Berita Dunia Terkini – Korea Selatan, yang dikenal sebagai negara dengan kemajuan teknologi dan ekonomi pesat, kini sedang dilanda badai politik yang mengguncang. Pada malam 3 Desember 2024, Presiden Korea Selatan, Yun Uk-yeol, mengumumkan deklarasi darurat militer. Mengubah suasana tenang menjadi ketegangan dan kekacauan. Langkah ini mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat dan menyulut trauma mendalam akibat sejarah kelam masa lalu.
Krisis Politik yang Mencengkeram
Krisis politik yang terjadi di Korea Selatan tidak muncul begitu saja. Ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Yun Uk-yeol semakin meluas. Terutama terkait dengan masalah ekonomi dan kebijakan sosial yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Tingginya inflasi, pengangguran yang meningkat, dan stagnasi pertumbuhan ekonomi menyebabkan masyarakat merasa semakin tertekan. Inflasi yang mencapai 6,3% dan tingkat pengangguran tertinggi sejak krisis finansial 2008 semakin memperburuk keadaan. Dengan sebagian besar kalangan menengah ke bawah merasakan dampaknya secara langsung.
Kebijakan ekonomi yang diusung pemerintah, yang lebih memihak pada pemotongan pajak untuk korporasi besar, memperburuk kesenjangan sosial dan meningkatkan ketidakpuasan masyarakat. Selain itu, kebijakan kontroversial terkait reformasi sistem pensiun dan pendidikan juga memicu gelombang protes besar-besaran. Reformasi yang dianggap menguntungkan kalangan elit dan mengabaikan kelompok rentan semakin memperburuk ketidakadilan sosial di Korea Selatan.
Kepemimpinan Otoriter dan Penindasan Kebebasan
Selain ketidakpuasan ekonomi, gaya kepemimpinan Yun yang otoriter juga menjadi sorotan publik. Banyak pihak menilai bahwa Presiden Yun cenderung menekan kritik dan tidak toleran terhadap oposisi. Penggunaan hukum untuk membungkam media dan politikus yang mengkritik pemerintah semakin memperburuk situasi. Pemerintah juga menggunakan kekuatan hukum untuk memenjarakan aktivis dan politisi oposisi yang di anggap menghasut kebencian.
Ketegangan semakin memuncak ketika upaya pemakzulan terhadap Presiden Yun gagal dua kali di majelis nasional, yang memperburuk polarisasi politik di Korea Selatan. Partai oposisi yang menguasai mayoritas kursi parlemen terus berusaha menggulingkan pemerintah yang di anggap gagal mengatasi krisis ekonomi dan sosial.
Deklarasi Darurat Militer: Langkah Kontroversial
Pada malam yang mencekam tanggal 3 Desember 2024, Presiden Yun mengumumkan darurat militer di seluruh Korea Selatan. Dengan alasan untuk melindungi demokrasi dari ancaman oposisi yang di anggap bekerja sama dengan Korea Utara. Yun menyatakan bahwa darurat militer akan membatasi kebebasan sipil, menekan kebebasan pers, dan memberi wewenang luas kepada militer untuk menangkap dan mengadili warga sipil.
Langkah ini memicu protes besar dari masyarakat. Ribuan warga turun ke jalanan di sekitar gedung parlemen di Seoul. Menuntut pengunduran diri Presiden Yun dan menentang pemberlakuan darurat militer. Masyarakat yang masih trauma dengan sejarah darurat militer masa lalu merasa bahwa langkah ini membawa Korea Selatan kembali ke masa kelam yang penuh dengan penindasan dan kekerasan.
Sejarah Kelam Darurat Militer Korea Selatan
Deklarasi darurat militer pada 3 Desember 2024 mengingatkan masyarakat Korea Selatan pada masa-masa kelam dalam sejarah negara ini. Setelah merdeka pada 1945, Korea Selatan mengalami periode-periode darurat militer yang berulang. Yang sering kali di gunakan untuk menekan oposisi dan memperkuat kekuasaan otoriter. Salah satu periode darurat militer yang paling brutal adalah saat Jenderal Park Chung-hee merebut kekuasaan melalui kudeta pada 1961. Kemudian mengarah pada pemerintahan otoriter yang mempengaruhi kebebasan sipil dan hak-hak politik rakyat.
Pada tahun 1980, pembantaian Gwangju menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintahan militer yang represif. Tragedi ini semakin memperkuat perjuangan menuju demokrasi. Ketika negara memasuki transisi menuju demokrasi pada akhir 1980-an, masyarakat Korea Selatan semakin menuntut hak untuk bebas dari cengkeraman militer yang telah lama mengekang kebebasan mereka.
Protes dan Penolakan terhadap Pemerintahan Yun
Masyarakat Korea Selatan kini merasa bahwa darurat militer yang di umumkan oleh Presiden Yun telah membuka kembali luka lama dari masa lalu yang penuh dengan penindasan. Meskipun Yun akhirnya mencabut darurat militer pada pagi hari setelah mendapat tekanan besar dari publik dan majelis nasional, keputusan tersebut tetap menuai kritik tajam. Banyak pihak menganggap bahwa langkah ini merupakan upaya untuk memperkuat cengkramannya terhadap kekuasaan dan mengalihkan perhatian dari skandal yang melibatkan pemerintahannya.
Rakyat Korea Selatan, yang telah berjuang keras untuk mencapai demokrasi, kembali teringat akan peristiwa-peristiwa kelam yang terjadi di masa lalu. Bagi mereka, deklarasi darurat militer bukan hanya langkah politik yang kontroversial, tetapi juga sebuah pengingat akan ancaman terhadap kebebasan dan demokrasi yang telah di perjuangkan dengan darah dan air mata.
Perlawanan yang Terus Bergulir
Krisis yang terjadi di Korea Selatan menunjukkan betapa pentingnya menjaga demokrasi dan kebebasan sipil yang telah di peroleh dengan susah payah. Masyarakat Korea Selatan kini lebih dari sebelumnya bersatu untuk menuntut perubahan, memperjuangkan keadilan sosial, dan melawan setiap bentuk penindasan. Dengan semakin kuatnya perlawanan rakyat dan oposisi, masa depan politik Korea Selatan akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah dapat merespons tantangan ini.
Deklarasi darurat militer ini menjadi simbol bahwa meskipun negara ini telah berhasil membangun kemajuan ekonomi dan demokrasi. Bayang-bayang masa lalu yang penuh dengan penindasan dan otoritarianisme tetap dapat menghantui di masa kini.
Sumber : Youtube