Berita Dunia Terkini – Ketika kita mendengar istilah daerah istimewa, pikiran kita langsung tertuju pada Yogyakarta. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa Surakarta juga pernah menyandang status yang sama pasca-kemerdekaan Indonesia. Kini, setelah lebih dari tujuh dekade, kembali mencuat wacana menjadikannya sebagai provinsi baru dengan nama Daerah Istimewa Surakarta. Mengapa kehilangan keistimewaannya, dan apakah mungkin status itu kembali diraih? Mari kita telaah sejarah dan dinamika yang mengiringinya.
Asal Usul: Perpecahan Mataram dan Lahirnya Dua Kerajaan
Untuk memahami akar keistimewaan Surakarta, kita perlu kembali ke tahun 1755. Saat itu, Kesultanan Mataram pecah melalui Perjanjian Giyanti. Dari peristiwa ini lahirlah dua kekuatan besar: Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Tak lama berselang, pada 1757, berdirilah pula Kadipaten Mangkunegaran. Dua entitas kerajaan inilah yang menjadi pusat budaya dan kekuasaan di wilayah Surakarta, meskipun berada dalam bayang-bayang kekuasaan kolonial Belanda.
Pasca-Kemerdekaan: Dukungan Keraton dan Status Istimewa
Setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, Pakubuwono XII dari Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara VIII dari Kadipaten Mangkunegaran menyatakan dukungan penuh terhadap Republik Indonesia. Sebagai bentuk penghargaan, pemerintah pusat memberikan status Daerah Istimewa Surakarta. Namun, masa itu juga ditandai dengan gejolak politik yang luar biasa. Laskar-laskar rakyat menuding keraton sebagai simbol feodalisme dan kedekatan dengan kolonialisme. Penculikan tokoh-tokoh keraton dan kerusuhan pun terjadi, membuatnya tak lagi kondusif.
Kehilangan Keistimewaan: Titik Balik Surakarta
Puncaknya terjadi pada Juni 1946. Lewat Penetapan Pemerintah Nomor 16, status istimewa Surakarta resmi dicabut. Wilayah ini kemudian di masukkan secara administratif ke dalam Provinsi Jawa Tengah. Sejak saat itu, keraton di Surakarta tak lagi memiliki peran formal dalam struktur pemerintahan.
Yogyakarta Tetap Istimewa: Mengapa?
Berbeda dengan Surakarta, Yogyakarta justru mampu mempertahankan keistimewaannya. Kuncinya terletak pada kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang tidak hanya menyatakan dukungan, tetapi juga memberikan fasilitas dan dana untuk perjuangan republik. Bahkan, ketika Jakarta di duduki Belanda, Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia. Loyalitas dan kontribusi besar inilah yang membuat Yogyakarta di akui secara konstitusional sebagai daerah istimewa melalui Undang-Undang Keistimewaan DIY.
Wacana Baru: Surakarta Sebagai Provinsi Tersendiri
Kini, setelah lebih dari 75 tahun, muncul kembali wacana menjadikannya sebagai provinsi tersendiri. Wacana ini lahir dari tokoh-tokoh dan masyarakat yang menginginkan pemekaran wilayah Solo Raya, yang mencakup Kota Surakarta, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, dan Wonogiri. Ada dua alasan utama: pertama, luas dan padatnya Jawa Tengah membuat pelayanan publik terhambat; kedua, nilai sejarah dan budaya Kasunanan serta Mangkunegaran dinilai layak menjadi dasar pembentukan provinsi baru.
Antara Harapan dan Realita
Meski alasan yang di angkat cukup logis, hingga kini belum ada arahan resmi dari pemerintah pusat. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pun menyatakan bahwa belum ada urgensi atau pembahasan serius di tingkat nasional. Dengan demikian, wacana ini masih sebatas aspirasi masyarakat dan bahan diskusi publik.
Kesimpulan: Menanti Waktu dan Demokrasi
Surakarta pernah istimewa, dan kini muncul kembali aspirasi untuk mengembalikan kejayaan itu dalam bentuk provinsi baru. Namun sejarah mengajarkan bahwa status suatu wilayah bukan hanya soal kehormatan dan kekuasaan, tapi juga soal stabilitas, kontribusi, dan kepentingan rakyat. Apakah layak menjadi provinsi tersendiri? Atau lebih baik tetap menjadi bagian dari Jawa Tengah? Jawabannya akan di tentukan oleh waktu dan proses demokrasi yang sehat. Yang pasti, suara masyarakat akan menjadi faktor penentu yang tak boleh di abaikan.
Sumber : Youtube.com