Berita Dunia Terkini – Jauh sebelum kita mengenal jalur Pantura sebagai urat nadi transportasi di Pulau Jawa, ada sebuah proyek ambisius yang menjadi cikal bakalnya: De Grote Postweg atau Jalan Raya Pos. Dibangun pada masa penjajahan Belanda oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels antara tahun 1808 hingga 1811, jalan ini membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur.
Jalan ini bukan sekadar proyek infrastruktur. Ia lahir dari kebutuhan militer, administrasi, dan ekonomi kolonial Belanda—dan menjadi salah satu warisan paling monumental dari era tersebut.
Menghubungkan Barat ke Timur Pulau Jawa
Jalur ini memiliki panjang sekitar 1.000 kilometer dan menjadi fondasi dari jalur Pantura modern yang kini membentang sejauh 1.316 km, menghubungkan Merak di ujung barat hingga Ketapang di ujung timur Jawa. Melalui lima provinsi besar—Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur—jalur ini menjadi tulang punggung transportasi dan distribusi logistik di Pulau Jawa.
Alasan di Balik Pembangunan
Daendels diperintahkan oleh Raja Louis Bonaparte, adik dari Napoleon Bonaparte, untuk memperkuat pertahanan Jawa dari serangan Inggris dan membenahi administrasi kolonial. Dalam upayanya, Daendels terinspirasi oleh sistem jalan pos Kekaisaran Romawi (Cursus Publicus) dan memutuskan untuk membangun jaringan jalan cepat guna memobilisasi pasukan, menyampaikan surat, serta mendistribusikan logistik.
Teknik Konstruksi dan Jalur Strategis
Pembangunan di mulai dari Buitenzorg (Bogor) ke Karangsambung, melewati rute-rute penting seperti Cisarua, Cianjur, Rajamandala, Bandung, hingga Sumedang. Jalan ini di bangun selebar 7,5 meter, cukup untuk dilewati gerobak dan kendaraan berkuda. Setiap 1.506,9 meter di pasang tonggak batu sebagai penanda. Saluran air juga di bangun di sisi jalan untuk menghindari genangan air.
Sistem Kerja: Rodi atau Dibayar?
Salah satu hal paling kontroversial dari proyek ini adalah sistem kerja paksa atau rodi yang menelan ribuan nyawa. Namun, penelitian terbaru dari sejarawan seperti Asvi Warman Adam dan Prof. Djoko Marihandono menunjukkan bahwa tidak semua pekerja bekerja tanpa upah. Berdasarkan instruksi resmi tertanggal 5 Mei 1808, di sebutkan bahwa dana sebesar 30.000 Ringgit di sediakan untuk membayar upah dan konsumsi pekerja.
Upah bervariasi tergantung medan yang di kerjakan. Misalnya, pekerja di rute pegunungan seperti Cisarua–Cianjur mendapat perhatian khusus karena membutuhkan tenaga lebih besar. Mandor diberikan 3 Ringgit Perak, pekerja biasa 2 Ringgit Perak, di tambah jatah beras dan garam.
Pengawasan oleh Bupati Pribumi
Proyek ini di awasi oleh para bupati pribumi yang bertanggung jawab langsung kepada Daendels. Namun, di sinilah muncul celah. Karena sistem pencatatan yang kurang rapi dan keterbatasan kemampuan administrasi pribumi saat itu, banyak dokumen pembayaran tidak di temukan. Hal ini menimbulkan dugaan praktik korupsi, meskipun belum bisa di buktikan secara pasti.
Jejak Anti-Korupsi Daendels
Menariknya, Daendels di kenal sebagai pemimpin yang tegas dan anti-korupsi. Ia menyadari banyaknya praktik manipulasi hasil bumi oleh bupati, seperti pengurangan berat produk agraris yang di laporkan ke pusat. Ia kemudian membuat aturan ketat dan menjatuhkan hukuman berat bagi para pelanggar. Mulai dari pencopotan jabatan hingga hukuman mati bagi pelaku korupsi lebih dari 3.000 Ringgit.
Warisan Jalan Raya Pos bagi Indonesia
De Grote Postweg bukan hanya simbol kekuasaan kolonial, tetapi juga awal dari modernisasi sistem transportasi dan komunikasi di Indonesia. Jalan ini mempercepat pengiriman surat, memperlancar administrasi, membuka akses ke daerah terpencil, dan memperkuat integrasi ekonomi antar wilayah.
Meski di bangun dengan pengorbanan besar, Jalan Raya Pos tetap menjadi salah satu tonggak sejarah penting yang membentuk wajah Indonesia hari ini.
Kesimpulan
Pembangunan Jalan Raya Pos bukan hanya soal pembangunan fisik, tapi juga kisah tentang kekuasaan, ketegasan, kerja paksa, dan cikal bakal modernisasi. Dari proyek ini, kita belajar bahwa sejarah selalu menyimpan banyak sisi—tak hanya tentang penderitaan, tapi juga tentang struktur, kebijakan, dan niat membentuk tatanan baru.
Bagaimana menurut kamu, apakah warisan Daendels ini hanya simbol kolonialisme atau justru fondasi kemajuan transportasi di Indonesia?
Sumber : Youtube.com